Behind the SAHM


Tulisan ini merupakan suatu ungkapan rasa kecewa pada beberapa orang terdekat. Sering membaca sih, terkadang sumber toxic terbesar justru ada dilingkungan sendiri, ternyata memang benar seperti itu yang terjadi pada diriku.

Memilih untuk menjadi Stay At Home Mom (selanjutnya disebut SAHM) adalah murni pilihanku, sebelum menikah aku dan suami sudah sepakat bahwa aku akan tinggal dirumah mengurus rumah dan anak-anak (kelak). Alasannya, pertama karena suamiku pernah bilang bahwa ia lebih bangga punya istri sebagai SAHM dibanding yang kerja kantoran/diluar rumah. Ia berkata kerjanya akan lebih tenang jika rumah dan anak-anak ditinggal bersama istrinya, bukan orang lain. Kedua, karena aku yang cenderung perfectionist dan tidak mudah percaya pada orang memilih untuk membesarkan anak dengan mendampinginya sendiri. Aku ingin mendidik anakku sebaik yang aku mampu tentunya dengan membekali diri dengan ilmu parenting yang up to date dan sesuai dengan yang ingin ku terapkan.

Menjadi SAHM bukanlah hal yang mudah bagiku. Jujur saja aku yang terbiasa dengan kehidupan bangun siang, makanan selalu ada, baju selalu rapih dan wangi, rumah dan kamar selalu bersih, benar-benar harus beradaptasi dengan kehidupan baru sebagai SAHM. Memang aku pernah merasakan tinggal dikosan dimana aku beres-beres kamar kosan dan mengurus hidupku sendiri, but that's totally different guys! Kosan gue berapa sih ukurannya dibanding rumah yang sekarang gue tempatin, yekaan?

Sering banget kepikiran, "Gilak gue capek-capek kuliah lima tahun ujung-ujungnya ngebabu dirumah!" atau merasa minder melihat pencapaian teman-teman seangkatan bahkan dibawah diriku yang saat ini karirnya melesat, travelling keliling Indonesia bahkan Eropa, melanjutkan sekolah. Ada masa dimana aku melamun dan berpikir "Kalo gue nggak seperti ini, mungkin gue akan mencapai apa yang menjadi cita-cita gue selama ini!" Buru-buru ku tepis pikiran tidak bersyukur semacam itu. Memiliki suami yang luar biasa baik serta dikaruniai seorang buah hati yang lucu dan senantiasa mewarnai hari-hariku, harusnya membuatku semakin banyak mensyukuri apa yang Allah telah berikan. Belum tentu mereka yang karirnya melejit lebih bahagia dengan hidupnya, dan mungkin mereka yang suka travelling keliling Indonesia sedang mencoba mencari kebahagiaannya diluar sana.

Aku pun saat ini sudah merasa enjoy dengan apa yang menjadi kegiatanku sehari-hari. Tidak lagi berpikir untuk kembali bekerja kantoran dan meninggalkan anak bersama nanny atau menitipkannya di daycare. Nggak pengen kerja lagi? Tentu saja iya! Aku sudah memiliki rencana untuk menjadi freelancer, tinggal menunggu waktu yang tepat karena saat ini anakku sedang memasuki fase aktif-aktifnya sehingga sulit bagiku mengatur waktu antara bekerja dan membersamainya. Prioritasku yang utama adalah keluargaku, pekerjaan lain bisa menunggu.

Dibalik keputusanku menjadi SAHM, ternyata banyak pihak-pihak (sebut saja netizen) yang tidak suka dengan apa yang aku lakukan. Saat bertemu dengan salah satu kerabat yang cukup dekat, ia membeberkan bahwa beberapa saudara kami tidak suka dengan aku yang diam dirumah dan tidak ngantor. Komentar yang mereka lontarkan antara lain :

- "Ima tuh pinter, lulusan Farmasi UGM, banyak kegiatannya selama kuliah sampai ke luar negeri segala. Tapi sekarang kok oon, berhenti kerja dan diam dirumah doang?!"
- "Kok mau sih dia, tinggal sama mertua terus sekarang ngontrak rumah. Nggak beli rumah aja sekalian? Nggak kerja sih. Tapi kan Bapaknya kaya, tinggal minta uang aja padahal."
- "Harusnya Ima tuh kerja, sayang ijazahnya. Nanti kalo suaminya selingkuh atau cerai, sakit atau meninggal, pasti bingung sendiri nggak ada kerjaan. Padahal biaya anak itu nggak sedikit."

Yang terbesit dipikiranku saat mendengar kerabatku bercerita demikian adalah, "Wow! Hebat banget apa ya hidup mereka sampe ngomen hidup gue kayak gitu?!" Jujur saja, aku tidak peduli dan tidak akan memikirkan apa yang mereka katakan. Bawa woles aja, Bray! Namun aku kecewa karena dibalik wajah manis mereka saat bertemu diriku, ada kata-kata berbisa yang membuatku cukup sakit hati menerima komentar mereka. Nggak nyangka aja mereka bermuka dua.

Untuk menghindari diri dari pengaruh komentar Toxic People seperti itu, berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan :
1. CUEK
Ada dua kemungkinan mengapa netizen berkomentar, pertama karena mereka iri pada pencapaian kita dan kedua karena pengalaman pribadi mereka sendiri. Cuekin aja, shaay! Apa sih pengaruh komentar mereka sama hidup kita? Kalau pun aku kembali bekerja kantoran, memang mereka mau bertanggung jawab mengurus anak dan rumahku disini? Kalau aku beli rumah, terus apa hubungannya sama mereka? Mau numpang tinggal, gitu? Beban hidup sudah banyak, jangan ditambah dengan memikirkan hal-hal yang tidak berfaedah untuk hidup kita.

2. FOKUS PADA TUJUAN
Mereka boleh saja tidak menyukai keputusanku untuk menjadi freelancer, "Duinya nggak seberapa," kata mereka. Lha terus kalo gue dapet duit situ mau minta bagian? Capek deh! Kita pun tidak wajib bertanggung jawab pada ketidaksenangan netizen terhadap diri kita. Emang mereka siapa wajib kita bahagiakan? Tugas utama kita sebagai seorang individu tentunya membahagiakan diri sendiri. Rumah membutuhkan figur ibu yang bahagia untuk menghidupkan lingkungan menjadi bahagia juga. Saat ini, fokus dan tujuanku adalah mendidik dan membesarkan anak. Selain itu, aku juga sedang semangat-semangatnya belajar untuk menjadi seorang istri yang lebih baik lagi dalam menjalankan peranku dirumah.

Memang hidup akan selalu butuh uang, mau apa-apa butuh uang. Yes, I do love money! Tapi, membersamai anak melewati Golden Age-nya bukan merupakan kesempatan yang bisa diraih oleh semua orang. Kesempatan itu datang padaku dan aku ingin memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Jadi, daripada memikirkan komentar pedas netizen yang menganggap aku oon lebih baik aku fokus pada tujuan yang ingin aku capai.

Mungkin dua hal diatas bisa diterapkan agar kita tidak terpengaruh komentar dari toxic people. Ingatlah pepatah lama, Anjing menggonggong khafilah berlalu. Terserah mereka deh mau ngomong apa, yang mengetahui basic needs serta menjalankan roda kehidupan adalah kita sendiri. Jangan buat komentar mereka membuat kita jatuh dan terpuruk. Remember, happy mommy raise a happy kid!

Sukabumi, 20 November 2019

Posting Komentar

0 Komentar